Senin, 29 November 2010

Masalah mutu dan Pendidikan Indonesia


MASALAH LAYANAN DAN MUTU PENDIDIKAN

Pengantar
Pendidikan dihadapkan kepada tantangan peningkatan layanan dan mutu pendidikan, tantangan ini memunculkan masalah isu-isu aktual dalam masyarakat, antara lain pro dan kontra masalah penyelenggaraan sekolah unggul, rendahnya mutu dilihat dari perolehan nilai hasil ujian nasional yang dulu kerap dikenal dengan istilah NEM, angka partisipasi pendidikan, tingginya angka putus sekolah, terbatasnya dana pendidikan di daerah terpencil dan masalah lainya.
Tuntutan akan peningkatan layanan dan mutu pendidikan adalah merupakan salah satu dampak keberhasilan pembangunan dalam perubahan sosial, antara lain meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan. Cepatnya tuntutan ini tidak seimbang dengan daya dukung berbagai fasilitas dan upaya kerap melahirkan isu-isu aktual seperti tersebut di atas. Diantisipasi bahwa tuntutan ini cenderung semakin menguat selaras dengan pencapaian dari keberhasilan pembangunan itu sendiri. Isu-isu aktual pendidikan memerlukan perhatian dari berbagai pihak, sesuai dengan lingkup tanggung jawab pendidikan, karena pendidikan diakui merupakan media utama dalam pengembangan SDM, pengakuan ini belum diimbangi dengan dukungan maksimal, sehingga memunculkan pendidikan dalam memperdayakan SDM tersebut.

Analisa Isu Aktual Pendidikan

Berdasarkan pada anggapan bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam penyelengaraan pendidikan, yang mempengaruhi proses maupun hasil pendidikan, untuk lapisan masyarakat tertentu terbatasnya hambatan pendidikan masih merupakan hambatan cukup berarti, didiga dapat memunculkan fenomena Paedagogi dengan kecenderungan mengautnya nilai apresiasi terhadap pendidikan selama ini. Sementara itu bagi banyak lapisan masyarakat kelas atas tidak menjadi hambatan, akan tetapi tuntutan mutu pendidikan sangat menguat.
Dua tarikan ini seolah menguji konsep pendidikan untuk semua ( Education for all ) dan pendidikan elit yang dikhawatirkan menjadi fenomena sosiologis. Kondisi ini diduga dapat memperkuat antara kesenjangan dalam bidang ekonomi dan kesenjangan dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu , tidaklah heran muncul isu pro dan kontra terhadap penyelenggaranan pendidikan unggulan.Secara sosiologis pemihakan terhadap layanan pendidikan sangat mendasar karena menyangkut hak orang banyak.
Pendidikan, Sekolah dan Ijazah,
ika tidak harus memilih,  di antara ilmu dan ijazah, maka keduanya sama-sama penting dan harus diambil. Ilmu penting, tetapi ijazah juga perlu. Namun kalau harus memilih, maka umumnya orang akan memilih ijazah. Makanya, sering kita dengar suara aneh, cari ijazah dulu, sedangkan ilmu bisa didapat kemudian. Padahal, kenyataannya hal itu sulit terjadi. Biasanya setelah mendapat ijazah, maka   belajarnya berhenti, karena dirasa sudah mencukupi. 
Orang lebih mengutamakan ijazah dari pada ilmu, karena tanpa ijazah, ilmunya tidak akan diakui. Bahkan pemerintah pun tidak akan mengakui ilmu seseorang jikia tidak bisa membuktikan dengan selembar kertas yang bernama ijazah itu.  Sebaliknya, pemegang ijazah, sekalipun tidak berilmu sebagaimana tergambar dalam ijazahnya itu,tetap akan diakui. Padahal ilmu bisa didapat tanpa guru dan juga tanpa sekolah. Orang yang berilmu luas tanpa berguru dan bersekolah disebut aotodidak.
Pada kenyataannya, memang banyak orang tanpa berguru dan tanpa sekolah bisa menunjukkan kepintarannya.  Sebaliknya, juga tidak sulit kita temukan,  pemegang ijazah dan juga pemakai beberapa gelar akademik, tetapi tidak menunjukkan adanya ilmu yang disandangnya.Tatkala ijazah dipandang lebih penting dari pada ilmu, maka orang ramai-ramai mengejar ijazah. Lembaga pendidikan yang cepat meluluskan dan mengeluarkan ijazah dianggap lebih baik dan bermutu. Maka dalam memilih sekolah, tidak sedikit orang menjatuhkan pilihan pada lembaga pendidikan yang segera meluluskan. Lebih cepat ijazah di peroleh, dianggap lebih baik. Hal sama anehnya juga terkait dengan ujian. Siapapun melarang, jika seorang belajar hanya berniat untuk menghadapi ujian. Akan tetapi, justru yang terjadi adalah seperti itu. Siswa dan bahkan mahasiswa baru belajar kalau akan ujian.Oleh karena itu, sering  kita dengar, orang tahan  di ruang belajar berlama-lama, tidak mau diajak kemana-mana, dengan alasan  akan mempersiapkan ujian. Menghadapi  ujian sedemikian penting, dianggap menentukan nasibnya

Orientasi belajar seperti itu, maka menjadikan ilmu yang didapatkan oleh seseorang tidak bertahan lama.  Segera setelah mendapatkan ijazah sekolah dasar misalnya, maka hilanglah ilmu yang diterima selama enam tahun, kecuali beberapa saja yang tersisa. Hal yang sama dialami ketika setelah mereka mendapatkan ijazah SMP, SMA, dan bahkan juga  setelah diwisuda dan mendapatkan gelar sarjana.  Apa saja yang telah dipelajari hilang, setelah ijazah itu di dapat Pandangan seperti itu, menjadikan ujian dan ijazah sedemikian penting. Bahkan sekolah bukan untuk mendapatkan  ilmu, tetapi ijazah. Oleh karena itu, setelah dinyatakan lulus, maka rasa kegembiranya berlebihan, diekpresikan dengan mencorat-coret baju di antara temannya. Bahkan juga kebut-kebutan bersama, hingga merepotkan polisi lalulintas segala
Kebiasaan seperti itu menjadikan upaya peningkatan mutu pendidikan sangat sulit diupayakan. Siswa tidak mau belajar jika tidak ada ujian. Selanjutnya, ujian diikuti,  agar lulus dan mendapatkan ijazah. Seseorang yang tidak lulus ujian merasa sebagai penderitaan yang luar biasa. Siapa saja disalahkan, kecuali dirinya sendiri. Anehnya, sekolah pun juga berharap begitu, menginginkan agar  siswanya lulus semua, termasuk yang tidak pintar. Sebagai akibat dari tumbuhnya budaya yang menghargai ijazah sebagai segala-galanya itu, maka sekolah bukan tempat yang menyenangkan untuk mendapat dan mengembangkan  ilmu pengetahuan. Sekolah oleh sementara orang dirasa bagaikan penjara. Oleh sebab itu, tatkala dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah, mereka gembira luar biasa.  Sebaliknya, bagi yang tidak lulus merasa seolah-olah masa tinggal di rumah penjara harus di perpanjang Cara memandang  ilmu dan ijazah seperti itu, menjadikan sementara orang mencari jalan pintas.
Ada saja orang mendapatkan ijazah tanpa sekolah, yaitu dengan cara beli, hingga muncul istilah ijazah palsu. Kenyataan itu sangat memprihatinkan. Bukan saja menyesalkan terjadinya kecurangan pemalsuan ijazah, melainkan hal itu sebenarnya sebagai pertanda bahwa sementara lembaga pendidikan sudah tidak  berhasil menjadi  pembeda, antara orang yang sekolah dan yang tidak. Ijazah palsu pun baru diketahui setelah ada pihak yang mengadukan. Padahal semestinya, orang pintar dan tidak pintar bisa diketahui dari penampilannya dan bukan dari sebatas ijazah yang dimiliki. Peringatan hari pendidikan seperti sekarang ini, perlu dijadikan momentum untuk menata atau meluruskan cara pandang terhadap  lembaga pendidikan. Konsolidasi idiil seperti itu tidak kalah pentingnya, atau setidak-tidaknya sama urgennya dengan upaya mencari cara untuk peningkatan kualitas pendidikan, yang bersifat fisik.  Kecukupan dana dan fasilitas pendidikan tidak akan banyak artinya, jika orientasi atau niat belajar para siswa atau mahasiswa tidak tepat, yaitu hanya ingin mendapatkan nilai, IP atau ijazah belaka.
Penyelenggaraan sekolah unggul
Kualitas manusia Indonesia rendah telah menjadi berita rutin. Setiap keluar laporan Human Development Index, posisi kualitas SDM kita selalu berada di bawah. Salah satu penyebab dan sekaligus kunci utama rendahnya kualitas manusia Indonesia adalah kualitas pendidikan yang rendah. Kualitas sosial-ekonomi dan kualitas gizi-kesehatan yang tinggi tidak akan dapat bertahan tanpa adanya manusia yang memiliki pendidikan berkualitas.
Negeri ini sedang berjuang keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya belum memuaskan. Kini upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditempuh dengan membuka sekolah-sekolah unggulan, misal Sekolah Taruna Nusantara. Sekolah unggulan dipandang sebagai salah satu alternatif yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus kualitas SDM. Sekolah unggulan diharapkan melahirkan manusia-manusia unggul yang amat berguna untuk membangun negeri yang kacau balau ini. Tak dapat dipungkiri setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi manusia unggul. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan.
Setiap tahun ajaran baru sekolah-sekolah unggulan dibanjiri calon siswa, karena adanya keyakinan bisa melahirkan manusia-masnusia unggul. Benarkan sekolah-sekolah unggulan kita mampu melahirkan manusia-manusia unggul? Sebutan sekolah unggulan itu sendiri kurang tepat. Kata “unggul” menyiratkan adanya superioritas dibanding dengan yang lain. Kata ini menunjukkan adanya “kesombongan” intelektual yang sengaja ditanamkan di lingkungan sekolah.
Di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential (Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco,1994,h.81). Dari sisi ukuran muatan keunggulan, sekolah unggulan di Indonesia juga tidak memenuhi syarat. Sekolah unggulan di Indonesia hanya mengukur sebagian kemampuan akademis. Dalam konsep yang sesungguhnya, sekolah unggul adalah sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kinerjanya dan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal untuk menumbuh-kembangkan prestasi siswa secara menyeluruh. Berarti bukan hanya prestasi akademis saja yang ditumbuh-kembangkan, melainkan potensi psikis, fisik, etik, moral, religi, emosi, spirit, adversity dan intelegensi.
Konsep Sekolah Unggulan Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berati tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.
Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat.
Kehidupan dimasyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen.Bila boleh mengkritisi, pelaksanaan sekolah unggulan di Indonesia memiliki banyak kelemahan selain yang dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta di atas. Pertama, sekolah unggulan di sini membutuhkan legitimasi dari pemerintah bukan atas inisiatif masyarakat atau pengakuan masyarakat. Sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung bermuatan politis dari pada muatan edukatifnya.
Apabila sekolah unggulan didasari atas pengakuan masyarakat maka pemerintah tidak perlu mengucurkan dana lebih kepada sekolah unggulan, karena masyarakat akan menanggung semua biaya atas keunggulan sekolah itu.Kedua, sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya, sementara itu golongan miskin tidak mungkin mampu mengikuti sekolah unggulan walaupun secara akademis memenuhi syarat. Untuk mengikuti kelas unggulan, selain harus memiliki kemampuan akademis tinggi juga harus menyediakan uang jutaan rupiah. Artinya penyelenggaraan sekolah unggulan bertentangan dengan prinsip equity yaitu terbukanya akses dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati pendidikan yang baik.
Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan ini amat penting agar kelak melahirkan manusia-manusia unggul yang memiliki hati nurani yang berkeadilan.
Ketiga, profil sekolah unggulan kita hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang tinggi berupa NEM, input siswa yang memiliki NEM tinggi, ketenagaan berkualitas, sarana prasarana yang lengkap, dana sekolah yang besar, kegiatan belajar mengajar dan pengelolaan sekolah yang kesemuanya sudah unggul. Wajar saja bila bahan masukannya bagus, diproses di tempat yang baik dan dengan cara yang baik pula maka keluarannya otomatis bagus. Yang seharusnya disebut unggul adalah apabila masukan biasa-biasa saja atau kurang baik tetapi diproses ditempat yang baik dengan cara yang baik pula sehingga keluarannya bagus.
Oleh karena itu penyelenggaraan sekolah unggulan harus segera direstrukturisasi agar benar-benar bisa melahirkan manusia unggul yang bermanfaat bagi negeri ini. Bibit-bibit manusia unggul di Indonesia cukup besar karena prefalensi anak berbakat sekitar 2 %, artinya setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat (Daniel P. Hallahan dan James M. Kauffman, Exceptional Children: Introduction To Special Education, New Jersey: Prentice-Hall international, Inc., 1991), hh. 6-7). Berdasarkan prakiraan Lembaga Demografi UI (1991) penduduk usia sekolah di Indonesia tahun 2000 diperkirakan sebesar 76.478.249, maka kita akan memiliki anak berbakat (baca: unggul) sebanyak 1.529.565 orang. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. Restrukturisasi Sekolah Unggulan Maka konsep sekolah unggulan yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukrutisasi sekolah unggulan yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
pertama, program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.
Kedua, dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ.
Ketiga, sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya.
Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.Keempat, sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan.
Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin serius. Kedua, adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah.
Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya.
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah pendidikan, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.











Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.








Daftar Referensi

1.      Al MuchtarS.H.M.Pd.,Prof.Dr.Suwarno,2000,Pendidikan & Masalah soial Budaya. Jakarta: Gelar Pustaka Mandiri.
2.      Drs.H.Daryanto, 1997.Ezaluasi Pendidikan.Solo : Rineka Cipta
3.      Buchori,Mochtar1994 Spekrum Problematika Pendidikan Di Indonesia, Jogjakarta: Tiara Wacana
4.      Prof.DR.Setijadi,1986. Definisi Teknologi Pendidikan.Jakarta: Seri Pustaka
5.      meilani.http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/masalah-pendidikan-di-indonesia/
6.      http://www.suparlan.com/pages/posts/komite-sekolah-kondisi-masalah-dan-tantangan-di-masa-depan237.php